SUASANA ruang tamu di rumah Arfi’an Fuadi, 28, di Jalan Canden,
Salatiga, Jawa Tengah, masih dipenuhi nuansa Idul Fitri. Jajanan Lebaran
seperti kacang, nastar, dan kue kering memenuhi meja untuk menjamu tamu yang
berkunjung.
---------
M. Salsabyl Ad’n,
Salatiga
---------
Di sebelah ruang tamu terdapat ruangan yang lebih kecil. Di dalamnya ada tiga
unit komputer. Rupanya, di ruangan kecil itulah Arfi –panggilan Arfi’an Fuadi–
bersama sang adik M. Arie Kurniawan dan dua karyawannya mengeksekusi order
design engineering dari berbagai negara.
Kiprah dua
bersaudara itu di dunia rancang teknik internasional tak perlu diragukan lagi.
Tahun lalu Arie memenangi kompetisi tiga dimensi (3D) design engineering untuk
jet engine bracket (penggantung mesin jet pesawat) yang diselenggarakan General
Electric (GE) Amerika Serikat. Arie mengalahkan sekitar 700 peserta dari 56
negara.
”Lomba ini
membuat alat penggantung mesin jet seringan mungkin dengan tetap mempertahankan
kekuatan angkut mesin jet seberat 9.500 pon. Saya berhasil mengurangi berat
dari 2 kilogram lebih menjadi 327 gram saja. Berkurang 84 persen bobotnya,”
ungkap Arie ketika ditemui di rumah kakaknya, Senin (4/8).
Yang
membanggakan, Arie mengalahkan para pakar design engineering yang tingkat
pendidikannya jauh di atas dirinya. Misalnya,
juara kedua diraih seorang PhD dari Swedia yang bekerja di Swedish Air Force.
Sedangkan yang nomor tiga lulusan Oxford University yang kini bekerja di
Airbus. ”Padahal, saya hanya lulusan SMK Teknik Mekanik Otomotif,” jelas Arie.
Sekilas memang
tak masuk akal. Bagaimana bisa seorang lulusan SMK yang belum pernah
mendapatkan materi pendidikan CAD (computer aided design) mampu mengalahkan
doktor dan mahasiswa S-3 yang bekerja di perusahaan pembuat pesawat? CAD adalah
program komputer untuk menggambar suatu produk atau bagian dari suatu produk. Rupanya, ilmu
utak-atik desain teknik itu diperoleh dan didalami Arie dan kakaknya, Arfi,
secara otodidak. Hampir setiap hari keduanya melakukan berbagai percobaan
menggunakan program di komputernya. Mereka juga belajar dari referensi-referensi
yang berserak di berbagai situs tentang design engineering.
”Terus terang
dulu komputer saja kami tidak punya. Kami harus belajar komputer di rumah
saudara. Lama-lama kami jadi menguasai. Bahkan, para tetangga yang mau beli
komputer, sampai kami yang disuruh ke toko untuk memilihkan,” kenang Arfi. Sebelum
menjadi profesional di bidang desain teknik, dua putra keluarga A. Sya’roni itu
ternyata harus banting tulang bekerja serabutan membantu ekonomi keluarga. Arfi
yang lulusan SMK Negeri 7 Semarang pada 2005 pernah bekerja sebagai tukang
cetak foto, di bengkel sepeda motor, sampai jualan susu keliling kampung.
Sang adik juga
tak jauh berbeda, jadi tukang menurunkan pasir dari truk sampai tukang cuci
motor. ”Kami menyadari, penghasilan orang tua kami pas-pasan. Mau tidak mau
kami harus bekerja apa saja asal halal,” tutur Arfi.
Baru pada 2009
Arfi bisa menyalurkan bakat dan minatnya di bidang program komputer. Pada 9
Desember tahun itu dia memberanikan diri mendirikan perusahaan di bidang design
engineering. Namanya D-Tech Engineering Salatiga. Saksi bisu pendirian
perusahaan tersebut adalah komputer AMD 3000+. Komputer itu dibeli dari uang
urunan keluarga dan gaji Arfi saat masih bekerja di PT Pos Indonesia. ”Gaji saya
waktu itu sekitar Rp 700 ribu sebagai penjaga malam kantor pos. Lalu ada sisa
uang beasiswa adik dan dibantu bapak, jadilah saya bisa membeli komputer ini,”
kenangnya. Setelah
berdiskusi dengan sang adik, Arfi pun menetapkan bidang 3D design engineering
sebagai fokus garapan mereka. Sebab, dia yakin bidang itu booming dalam
beberapa tahun ke depan. ”Kami pun langsung belajar secara otodidak aplikasi
CAD, perhitungan material dengan FEA (finite element analysis), dan lain-lain,”
jelasnya.
Tak lama
kemudian, D-Tech menerima order pertama. Setelah mencari di situs freelance,
mereka mendapat pesanan desain jarum untuk alat ukur dari pengusaha Jerman. Si
pengusaha bersedia membayar USD 10 per set. Sedangkan Arfi hanya mampu
mengerjakan desain tiga set jarum selama dua minggu.
”Kalau sekarang
mungkin bisa sepuluh menit jadi. Dulu memang lama karena kalau mau download
atau kirim e-mail harus ke warnet dulu. Modem kami dulu hanya punya kecepatan 2
kbps. Hanya bisa untuk lihat e-mail.”
Di luar
dugaan, garapan D-Tech menuai apresiasi dari si pemesan. Sampai-sampai si
pemesan bersedia menambah USD 5 dari kesepakatan harga awal. ”Kami sangat
senang mendapat apresiasi seperti itu. Dan itulah yang memotivasi kami untuk
terus maju dan berkembang,” tegas Arfi.
Sejak itu
order terus mengalir tak pernah sepi. Model desain yang dipesan pun makin
beragam. Mulai kandang sapi yang dirakit tanpa paku yang dipesan orang Selandia
Baru sampai desain pesawat penyebar pupuk yang dipesan perusahaan Amerika
Serikat. ”Pernah ada
yang minta desain mobil lama GT40 dengan handling yang sama. Untuk proyek itu,
si pemilik sampai harus membongkar komponen mobilnya dan difoto satu-satu untuk
kami teliti. Jadi, kami yang menentukan mesin yang harus dibeli, sasisnya model
bagaimana dan seterusnya. Hasilnya, kata si pemesan, 95 persen mirip,”
jelasnya.
Selama lima
tahun ini, D-Tech telah mengerjakan sedikitnya 150 proyek desain. Tentu saja
hasil finansial yang diperoleh pun signifikan. Mereka bisa membangun rumah
orang tuanya serta membeli mobil. Tapi, di sisi lain, capaian yang cukup
mencolok itu sempat mengundang cibiran dan tanda tanya para tetangga.
”Kami
dicurigai memelihara tuyul. Soalnya, pekerjaannya tidak jelas, hanya di rumah,
tapi kok bisa menghasilkan uang banyak. Mereka tidak tahu pekerjaan dan
prestasi yang kami peroleh,” cerita Arfi seraya tertawa.
Sayangnya,
dari 150 proyek itu, hanya satu yang dipesan klien dalam negeri. ”Satu-satunya
klien Indonesia adalah dari sebuah perusahaan cat. Mereka beberapa kali memesan
desain mesin pencampur cat,” lanjutnya.
Meski punya segudang
pengalaman dan diakui berbagai perusahaan internasional, Arfi dan Arie masih
belum bisa berkiprah di desain teknik Indonesia. Penyebabnya, mereka hanya
berijazah SMK.
”Kalau ditanya
apakah tidak ingin membantu perusahaan nasional, kami tentu mau. Tapi, apakah
mereka mau? Di Indonesia kan yang ditanya pertama kali lulusan apa dan dari
universitas mana,” ujarnya.
Stigma ”hanya
berijazah SMK” ditambah sistem pendidikan Indonesia yang dinilai kurang adil
itulah yang ikut mengandaskan keinginan Arie melanjutkan pendidikan ke jenjang
S-1 di Teknik Elektro Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. Arie tidak bisa
masuk jurusan itu karena hanya lulusan SMK mekanik otomotif.
”Saya ingin
kuliah di jurusan itu karena ingin memperdalam ilmu elektro. Kalau mesin saya
bisa belajar sendiri. Tapi, saya ditolak karena kata pihak Undip jurusannya
tidak sesuai dengan ijazah saya. Padahal, lulusan SMA yang sebenarnya juga
tidak sesuai diterima. Ini kan tidak adil namanya,” cetus Arie.
Meski ditolak,
Arie tidak kecewa. Bersama sang kakak, dia tetap ingin menunjukkan prestasi
yang mengharumkan nama bangsa. Dan itu telah dibuktikan dengan menjuarai
kompetisi design engineering di Amerika yang diikuti para ahli dari berbagai
negara. Selain itu, mereka tak segan-segan menularkan ilmunya kepada anak-anak
muda agar melek teknologi 3D design engineering.
”Ada beberapa
anak SMK yang datang ke kami untuk belajar. Sekarang ada yang sudah kerja di
bidang itu. Ada juga yang bakal ikut kompetisi Asian Skills Competition sebagai
peserta termuda,” jelasnya.
Mereka juga
punya keinginan mengembangkan teknologi energi terbarukan. Salah satunya dengan
mengembangkan desain pembangkit listrik tenaga angin.
”Kami bekerja
sama dengan anak-anak SMK untuk mengembangkan biodiesel dari minyak jelantah.
Lalu, Mas Ricky Elson (pembuat mobil listrik yang dibawa Dahlan Iskan dari
Jepang, Red) pernah menghubungi lewat Facebook, ingin menjalin kerja sama
dengan kami. Tentu saja kami terima,” ungkapnya.
Dengan semua
upaya itu, mereka punya satu impian, yakni mengembangkan sumber daya lokal
Salatiga untuk menjadikan kota kecil itu pusat pengembangan manufaktur
teknologi kelas dunia. Layaknya Silicon Valley di San Francisco, Amerika
Serikat.
”Kami ingin
membuktikan bahwa Indonesia bisa menjadi pusat industri manufaktur dunia.
Terlebih lagi, teknologi 3D printing bakal menjadi tulang punggung industri
masa depan. Itulah kenapa 3D design engineering sangat penting,” tandasnya. (*/c9/ari)
SUMBER