Jumat, 25 Juli 2014

PSSI, Apa Salah Timnas U-19?












Republik.co.id. Kabar yang datang pada Kamis (24/7) siang kemarin ibarat petir di siang bolong bagi Timnas U-19. Bagaimana tidak? PSSI tiba-tiba membatalkan rencana tur Evan Dimas dkk ke  Spanyol, salah satu dari program jangka panjang Indra Sjafri dan tim pelatih skuat Garuda Jaya.

Sebagai gantinya, PSSI memilih mengirimkan Timnas U-19 ke turnamen Hassanal Bolkiah Trophy (HBT) di Brunei Darussalam. Adapun tur Spanyol tetap dilaksanakan namun yang akan menjadi wakil Indonesia adalah Timnas U-21 pimpinan Ruddy Keltjes.

PSSI beralasan, turnamen di Brunei akan lebih bermanfaat bagi Timnas U-19. Sesuai cara berpikir 'orang-orang pintar' di tubuh komite eksekutif PSSI, keberadaan sejumlah tim ASEAN seperti Myanmar, Vietnam, dan Thailand pada turnamen itu akan lebih menguntungkan baik secara teknis maupun non teknis untuk skuat Indra Sjafri. 

Padahal, sejatinya Timnas U-19 akan menghadapi tim-tim kuat Spanyol pada turnamen COTIF yang digelar di Valencia, sebut saja tim junior Barcelona, tim junior Valencia, serta Timnas U-20 dari Brasil, Argentina, Ekuador, dan Cina.

Keputusan PSSI yang menyiratkan lawan-lawan tersebut tidak menguntungkan untuk Timnas U-19 tentu layak dipertanyakan. Secara kasat mata saja, kekuatan tim-tim yang berlaga di Spanyol nanti jauh lebih mumpuni ketimbang lawan-lawan yang akan ditemui Evan Dimas dkk di Brunei. Apalagi berhadapan dengan tim-tim seperti Myanmar, Vietnam, dan Thailand sudah pernah dirasakan skuat Indra Sjafri baik di ajang Piala AFF maupun di laga uji coba sebelumnya.

PSSI bisa dibilang sudah secara sengaja mengubur kesempatan Timnas U-19 untuk menimba ilmu di Spanyol. Tidak cukup menyakitkan, bahkan PSSI kemudian menggantikan mereka dengan Timnas U-21 yang notabene belum memiki prestasi apapun. Perlakuan tersebut benar-benar di luar akal sehat.

Padahal bila menilik ke belakang, usai Timnas U-19 menjuarai Piala AFF U-19 dan lolos ke kualifikasi Piala Asia Oktober 2013 lalu, saat itu PSSI lewat Badan Tim Nasional (BTN) berjanji akan memberi kepercayaan penuh kepada Indra Sjafri untuk menyusun program jangka panjang untuk anak-anak asuhnya. Target yang ingin dicapai jelas, yakni lolos ke putaran final Piala Dunia U-20 tahun 2015 di Selandia Baru.

Akan tetapi yang kini dilakukan PSSI justru seperti menjilat ludah sendiri. Tur Eropa, tur Timnas U-19 yang telah dinanti-nanti masyarakat pecinta sepak bola di tanah air, malah diberikan kepada 'timnas' yang lain. PSSI secara terang-terangan telah mengintervensi program jangka panjang yang telah dibuat Indra Sjafri dan tim pelatih Timnas U-19.
Apa salah Timnas U-19? Bahkan Timnas U-23 yang hanya mencapai final SEA Games yang lalu saja bisa melakoni tur ke Italia melawan tim-tim kuat di sana. Apakah prestasi merengkuh gelar pertama dalam 22 tahun dianggap kurang membanggakan? Apakah prestasi lolos ke Piala Asia, yang tak bisa dicapai tim-tim usia muda sebelumnya, dianggap keberuntungan semata?

Apa salah Timnas U-19? Saat Wakil Ketua Umum PSSI La Nyalla Mattalitti, melarang Evan Dimas dkk menjadi bintang iklan di televisi, para pemain belia itu mematuhinya. Saat sang ketua BTN itu juga melarang Indra Sjafri menghadiri acara-acara di luar urusan Timnas U-19, ia dan staf-stafnya pun menyanggupinya. 

Kini, di saat Timnas U-19 ingin menunaikan 'kewajibannya' malah kesempatan emas tersebut diberikan kepada tim antah-berantah yang terkesan diada-adakan. Apalagi ini namanya kalau bukan air susu dibalas dengan air tuba?

Apalagi beredar kabar yang menyatakan bahwa ongkos pertandingan-pertandingan yang dilakoni Timnas U-19 selama tur nusantara jilid dua belum sampai ke kantong para pemain dan pelatih. Wallahualam. Akan tetapi jika hal itu benar, maka apa lagi istilah yang pantas disematkan ke PSSI kalau bukan sebuah kezaliman.
Semoga saja PSSI segera bertaubat dan mengevaluasi dirinya sendiri, untuk yang kesekian kali. Karena jika timnas yang saat ini sedang mereka zalimi ini sampai lolos ke Piala Dunia U-20, maka sama seperti kejadian pascafinal Piala AFF 2013, publik akan kembali mengatakan: 'Itu Bukan Jasa PSSI'.
sumber : republika.co.id


mungkin butuh 100 tahun lagi untuk Indonesia bisa masuk piala dunia, karena PSSI telah menghancurkan generasi harapan sepakbola Indonesia demi kepentingan pribadi/kelompok


Tapi kami pecinta sepakbola tidak muluk2 ingin masuk piala dunia, yang kami inginkan sekarang adalah pengurus sepakbola yang bersungguh-sungguh ingin memperbaiki dan mengembalikan kejayaan sepakbola Indonesia bukan pengurus dari politik, bukan pengurus yang hanya mencari uang di sepakbola, bukan pengurus yang mementingkan kepentingan pribadi / politik ataupun kelompok.


R.I..P SEPAKBOLA INDONESIA
»»  READMORE...

Rabu, 16 Juli 2014

10 Bek Terhebat Sepanjang Masa


Bek atau pemain belakang adalah posisi yang sangat vital dalam dunia sepak bola, merekalah benteng pertahanan yang harus menjaga daerah pertahanan agar para striker  lawan tidak dapat membobol pertahanan mereka dan kemudian mencetak gol.

Bagi banyak orang , Bek-bek terbaik berasal dari italia, hal ini mungkin karna gaya permainan sepakbola italia memang mengandalakan pertahanannya. tapi ternyata tidak semua  bek-bek terbaik di dunia berada di Italia,

Berikut adalah daftar 10 bek terbaik di Dunia sepanjang masa yang didasarkan pada  prestasi dan skill rata-rata pemain selama masa bermain :

10 Daniel Passarella (Argentina)
Inilah pemain serba bisa dari Argentina. Jago bertahan maupun menyerang, dan membantu terciptanya peluang bagi rekan setimnya, sekaligus menyapu bersih usaha lawan-lawannya. 

Ia juga dikenal efektif dalam eksekusi penalti dan tendangan bebas. Dengan 134 gol dalam 451 pertandingan, ia pernah mencetak rekor sebagai bek paling haus gol sepanjang masa. Meski demikian, rekor yang sama di Serie A Italia masih menjadi miliknya hingga saat ini.Ia sering dibandingkan dengan Beckenbauer.

Prestasinya yang paling menonjol adalah dua kali juara dunia bersama Argentina, yaitu pada 1978 dan 1986. Ia juga memenangkan Liga Utama Argentina selama empat kali bersama 
River Plate.

9. Giacinto Facchetti (Italia)

Meski karirnya berawal sebagai pemain depan, Facchetti kemudian beralih menjadi salah  satu bek paling efektif dalam sejarah sepakbola Italia. Rentetan gelar yang dikoleksinya antara lain adalah Scudetto pada 1963, 1965, 1966, dan 1971; Coppa Italia 1978; Piala European Champions Club (sekarang Liga Champions) 1964 dan 1965; Piala Intercontinental 1964 dan 1965, serta pemenang Euro 1968. Hebatnya lagi, semua gelar klubnya diraih bersama satu klub, yaitu Inter Milan.

Tak heran jika Pele memasukkannya dalam daftar FIFA 100.

8. Lothar Matthaus (Jerman)
Matthaus baru bermain sebagai pemain belakang saat usianya sudah merambah 30-an. Sebelumnya ia lebih banyak berada di lini tengah. Toh dimanapun ia bermain, Maradona menyebutnya sebagai rival terberat. Dan kenapa tidak? Tak kurang dari tujuh gelar  Bundesliga pernah menjadi miliknya, ditambah dengan tiga Piala Jerman, sebuah mahkota Serie A, dua Piala UEFA, satu Kejuaraan Eropa, serta Piala Dunia. 

Komunitas sepakbola Jerman menobatkannya menjadi pemain terbaik pada 1990 dan 1999, dan FIFA pun tak segan memberikan gelar pemain terbaik dunia 1991 padanya. Sayang karirnya sebagai pelatih tidak secemerlang itu. Ia dipecat dari timnas Hongaria dan Red Bull Salzburg

7. Fabio Cannavaro (Italia)
Kapten Italia ini merupakan bek pertama yang dinobatkan menjadi Pemain Terbaik Dunia oleh FIFA setelah Italia menjuarai Piala Dunia pada 2006. Pada tahun yang sama, ia juga memenangi gelar Pemain Terbaik Eropa, dan dua kali terpilih dalam pasukan FIFPro World XI, yaitu pada 2005/06 dan 2006/07.
Sayang, walau pernah meraih gelar juara La Liga dua kali dengan Real Madrid, ia belum pernah menang di Serie A.

6. Roberto Carlos (Brasil)
Roberto Carlos tampil di tiga Piala Dunia bersama Brasil. Selain membawa timnya ke  final 1998, ia juga menjadi pemain kunci pada saat Brasil menang empat tahun kemudian. Kontribusinya sebagai pengeksekusi tendangan bebas juga tidak bisa diremehkan,  termasuk pada 3 Juni 1997, ketika ia mencetak gol dari jarak 35 m saat melawan Prancis.

Di Real Madrid, ia meraih empat gelar juara La Liga, tiga Liga Champions dan dua Piala Intercontinental. Ia juga merupakan salah satu dari enam pemain yang tampil lebih dari seratus kali di Liga Champions. Pele memasukkannya dalam daftar 125 pemain sepakbola terhebat sepanjang masa pada Maret 2004. Ia juga mendapat pengakuan sebagai legenda sepakbola internasional, dengan diberikannya Penghargaan Kaki Emas 2008.

5. Lilian Thuram (Prancis)
Bek Prancis paling sukses, dengan koleksi berbagai trofi dari empat klub di tiga negara,dan dua gelar internasional bersama timnas Prancis. Kemampuannya dalam membaca permainan dan menempatkan diri di lapangan membuatnya berbeda dari pemain bertahan kebanyakan.
Ia telah tampil dalam 142 pertandingan untuk Prancis, yang menjadikannya pemain yang paling sering diturunkan. Meski kurang mendapat pujian jika dibandingkan dengan bintang Prancis lainnya, seperti Zinedine Zidane dan Theirry Henry, perannya di timnas tidak kalah pentingnya. Ia membantu Prancis memenangkan Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000.

4. Franco Baresi (Italia)
Baresi menggawangi lini bertahan AC Milan dalam masa yang oleh banyak pengamat dinyatakan memiliki empat bek terbaik sepanjang sejarah, yaitu ia sendiri, Paolo Maldini, Alessandro Costacurta dan Mauro Tassotti. Ia juga menghabiskan seluruh karirnya di AC Milan dengan 532 pertandingan.
Ia mengoleksi enam Scudetto, tiga Piala Eropa dan Piala Dunia 1982, walau hanya sebagai cadangan. Paolo Maldini banyak berguru padanya, dan bahkan perkembangan karirnya kemudian mirip dengan Baresi. Ketika kemudian ia gantung sepatu, Milan memutuskan untuk menyimpan nomor punggung 6 yang selalu dikenakannya, sebuah penghargaan yang jarang dilakukan di Italia.

3. Bobby Moore (Inggris) Pemain bertahan yang tenang, Moore banyak dipuji karena kemampuannya dalam  membaca arah pertandingan dan mengantisipasi pergerakan lawan. Ia bukan bek yang hanya mengandalkan tekel keras. Pele menyebutnya sebagai pemain bertahan paling jujur yang pernah dilawannya.

Pada 29 Mei 1963, ia menerima ban kapten timnas Inggris ketika baru berusia 22 tahun, dan menjadi kapten tim senior Inggris termuda sepanjang masa. Prestasi terbesarnya  adalah membawa Inggris menjuarai Piala Dunia 1966.

2. Paolo Maldini (Italia)
Ia tidak hanya hebat karena memiliki kesetiaan yang besar kepada klubnya, AC Milan. Lebih dari itu, ia adalah bek paling berprestasi. Bersama Milan, ia meraih tujuh Scudetto dan lima titel Liga Champions. Sebagai pemain yang paling banyak tampil untuk timnas Italia, Ia juga menjadi langganan tetap gelar pemain terbaik sepanjang karirnya. Tidak kurang dari Lilian Thuram pernah mengakui ingin sepertinya.Satu-satunya kekurangannya adalah ia tidak pernah merasakan juara Piala Dunia.

1. Franz Beckenbauer (Jerman)
Italia boleh saja menyumbangkan banyak nama dalam daftar ini. Tapi, tidak ada yang lebih patut berada di posisi puncak daripada “Sang Kaisar”. Buktinya, banyak pemain yang  merasa bangga jika dibandingkan dengannya. Selain seabrek trofi yang dikoleksinya, kejeniusannyalah yang membuat ia menjadi sosok yang susah dilupakan. Sepak terjangnya 
di lapangan sangat elegan.

Lebih dari itu, ia adalah pemikir ulung yang membawa revolusi di dunia sepakbola dengan menciptakan peran libero menyerang. Sebelumnya, tak seorangpun pernah berpikir bahwa seorang sweeper juga perlu untuk maju untuk membantu penyerangan, apalagi mencetak gol. Beckenbauer menciptakan taktik ini, dan menjadikannya sebagai bagian dari sepakbola modern.



sumber : fp legenda sepakbola

»»  READMORE...

Sepak Bola Itu Bukan Balerina “Claudio Gentile”





Pernah dengar nama Claudio Gentile? Bila Anda pendukung Tim Azzurri, tentunya masih ingat dengan sosok stopper Juventus yang berperan penting bagi kemenangan tim nasional Italia saat meraih gelar juara dunia di PD 1982 yang berlangsung di Spanyol. Gentile adalah pemain yang ditugaskan Enzo Bearzot, pelatih Italia saat itu, untuk menjaga pergerakan bintang muda Argentina, Diego Armando Maradona.
Claudio Gentile terkenal juga dengan ketekunannya dalam mempelajari lawan-lawannya lewat rekaman video. Sering kali dia mempelajari lawan dan pemain kuncinya selama beberapa hari dan memberikan solusi untuk meredupkannya. Gentile akan mengahalalkan segala cara dalam menghentikan lawan, dari menekelnya ketika wasit sedang lengah, mencakarnya ketika membantu pemain lawan berdiri, selalu membayangi pemain kunci lawan bahkan mengintimidasi lawan melalui man markingnya yang super ketat. Bahkan legenda Inggris,Gordon Hill mengatakan, “Gentile akan berdiri di atas kepala neneknya demi merebut bola!”

Gentile sebenarnya dilahirkan di Tripoli, ibu kota Libya, tahun 1953. Dilahirkan di Libya membuat Gentile dijuluki ‘Qaddafi’ sepanjang karirnya. Terkenal sebagai pemain yang keras, buas dan kasar, begitu juga dengan perjalanan karir Gentile. Pemain yang memiliki tinggi 1.78 m ini mengawali karir di klub serie D bernama Arona pada tahun 1971-1972. Hanya bertahan setahun di sana, Gentile naik tahta dengan bermain bersama Varese di serie B dimusim 1972-1973. Bakatnya langsung tercium Juventus dan tanpa keraguan Juventus pun memboyongnya ke Turin. Giovani Trapattonidatang ke Juventus tahun 1976 dimana il Trap mencium bakat Gentile memang tidak di lini tengah. Bersama Trapattoni, Gentile dikembalikan ke habitat naturalnya namun kali ini bergeser menjadi bek kiri. Kendati di sepak bola modern seorang full back terkenal dengan naluri menyerangnya, tidak pada jaman itu. Bermain di sektor sayap kiri, Gentile lebih berfungsi menyeimbangkan sistem permainan tim dan lebih banyak bertahan ketimbang maju menyerang. Gentile bermain cukup baik di sisi kiri pertahanan sampai pada akhirnya di awal musim 1977-1978 Trapattoni memutuskan untuk mempromosikan pemain belia, Antonio Cabrini, sebagai bek kiri inti. Trapattoni tentu tidak melupakan Gentile begitu saja, sebagai pemain yang naturalnya berkaki kanan, Gentile digeser ke sisi kanan dimana dia bermain sama baiknya bahkan kali ini sering membantu menyerang Sampai pada akhirnya di tahun1980 Claudio Gentile akhirnya diposisikan sebagai bek tengah Juventus. Di sini lah Gentile memperkenalkan kepada dunia siapa dirinya sebenarnya. Kemampuannya dalam man marking ditopang dengan partnernya Gaetano Scirea membuat Juventus kala itu memiliki pertahanan super.

Lawan Italia dipertandingan pertama fase grup kedua adalah Argentina. Di interviewnya Gentile mengatakan dia mempelajari gerak-gerik Maradona selama 3 hari sebelum pertandingan. Alhasil Gentile benar-benar mematikan lenggak-lenggok Maradona saat itu. Yang lebih menarik adalah Gentile sama sekalitidak menerima kartu kuning walaupun mengawal ketat dan mengasari Maradona selama pertandingan. Ironisnya, malah Maradona terkena kartu kuning karena terlalu banyak mengeluh! Mengomentari hal ini, Gentile mengatakan, “Sepak bola memang bukan untuk ballerina.” Terkesan angkuh, namun apa boleh dikata Gentile selalu membuktikan kata-katanya di lapangan.

sumber : fp legenda sepakbola





















»»  READMORE...