Rabu, 29 Februari 2012

5 kesalahan Nabi Muhammad SAW


Salah satu doktrin utama dalam agama Islam adalah bahwa semua utusan Allah itu maksum. Artinya semua tindak langkah para Rasul itu steril dari kesalahan. Setiap apa yang disampaikannya pasti benar sebab peluang kesalahan telah ditutup rapat. Amaliah yang mereka lakukan hanya terbatas pada pekerjaan yang berhukum wajib dan sunat, tidak sampai pada ranah mubah, apalagi makruh dan haram.

Semua itu, sekali lagi, merupakan pemahaman-pemahaman aksiomatis dalam Islam dan benar adanya. Namun masalah yang muncul kemudian adalah, bahwa secara eksplisit dan implisit ternyata al-Quran menyebutkan jika Nabi Muhammad beberapa kali melakukan ‘kesalahan’. Di antara kesalahan-kesalahan tersebut adalah sebagai berikut :

Pertama, ketika Abdullah Bin Ubai Bin Salul, pentolan orang-orang munafik, meninggal, Rasulullah menyalati dan mendoakannya. Oleh sebab itu lalu Allah menegurnya: “Janganlah sekali-kali kamu menyalati (jenazah) seorang yang mati dari mereka (munafik), dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di atas kuburan mereka. Sesungguhnya mereka telah kafir pada Allah dan utusannya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (QS At-Taubah [09]: 84).

Kedua, Nabi Muhammad pernah mengharamkan madu dan budak perempuannya untuk diri beliau sendiri yang notabenenya dihalalkan oleh Allah. Karena itu Allah menegur beliau dengan firman-Nya berikut: “Wahai Nabi (Muhammad), mengapa kamu mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah padamu. Kamu ingin menyenangkan hati istri-istrimu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS At-Tahrim [66]: 4).

Ketiga, Nabi Muhammad memberi toleransi kepada orang-orang munafik untuk tidak mengikuti perang Tabuk, lalu Allah menegur beliau melalui firman-Nya: “Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin (untuk tidak mengikuti perang Tabuk) sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar-benar uzur (berhalangan) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?” (QS At-Taubah [09]: 43).

Keempat, Nabi Muhammad mendapat teguran dari Allah atas kebijakan beliau mengambil tebusan dari para tawanan perang Badar. Allah berfirman yang artinya: “Tidak pantas bagi seorang Nabi mempuyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuh-musuhnya di muka bumi. Kau menghendaki harta duniawi sedang Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu), dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Anfal [08]: 68).

Kelima, pada peristiwa perang Uhud Nabi Muhammad mengalami luka-luka yang cukup parah, sedangkan orang-orang Islam banyak yang melarikan diri, sehingga beliau emosi dan berkata “Akankah selamat suatu kaum jika melakukan hal seperti ini pada nabinya?!” Lalu Allah menegur beliau: “Tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka.” (QS Ali Imran [03]: 128)

    Dari lima fakta yang dipaparkan dalam al-Qur’an di atas, tentu saja secara awam dapat dipahami jika Rasulullah ternyata pernah melakukan sejumlah ‘kesalahan’. Dengan demikian di sini jelas terjadi kontradiksi antara sifat maksum yang harus ada pada setiap Rasul dan ‘kesalahan-kesalahan’ yang telah dipaparkan di atas. Lalu bagaimana kita memahami dan menaggapi kenyataan ini? Rasulullah juga manusia, jadi tidak bisa terlepas dari sifat-sifat yang manusiawi (al-A‘râdhul-Basyariyah). Beliau makan, minum, tidur, sakit, gembira, susah dan lain sebagainya. Sebagai manusia, beliau juga bisa ‘lupa’ dan ‘salah’. Kejadian-kejadian di atas merupakan refleksi dari al-a‘râdhul-basyariyah beliau. Namun kemudian timbul pertanyaan: apakah hal tersebut tidak bertolak belakang dengan sifat maksum yang dimiliki oleh Nabi Muhammad? Jawabannya tentu “sama sekali tidak”. Bahkan sebaliknya, hal tersebut justru semakin mengukuhkan sifat kemaksuman beliau.Kalau kita cermati kejadian-kejadian di atas secara spesifik, maka akan kita dapati bahwa setiap kali

    Rasulullah melakukan ‘kesalahan’, pasti Allah akan menegurnya. Hal tersebut sama sekali tidak merusak konsep maksum yang melekat pada beliau, namun justru semakin menguatkan pemahaman bahwa setiap apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad pasti benar dan terbebas dari setiap bentuk kesalahan. Sebab setiap kali beliau melakukan ‘kesalahan’ pasti akan ada teguran langsung dari Allah, sehingga beliau akan segera meralat ‘langkah salah’ tersebut.Dari fakta-fakta empiris di atas dapat diambil kesimpulan bahwa konsep maksum yang ada pada diri para Rasul bukan berarti mereka tidak pernah salah. Akan tetapi ketika mereka melakukan kesalahan, maka akan datang teguran dan peringatan langsung dari Allah dan mereka akan segera memperbaiki kesalahan tersebut. Sebuah rumah dikatakah bersih, bukan berarti rumah tersebut tidak pernah kotor. Tapi ketika ada kotoran maka segera dibersihkan.Hal yang perlu dicatat di sini adalah bahwa dibalik ‘kesalahan-kesalahan’ yang diperbuat para Rasul terdapat banyak hikmah. Di antaranya, kesalahan tersebut merupakan bagian dari proses Tasryî‘ul-Ahkâm (pemberlakuan suatu hukum) dan dalam rangka memberi contoh berijtihad.Juga perlu diingat, standard kesalahan pada diri para Rasul tidak sama dengan standard manusia pada umumnya. Suatu perbuatan yang dianggap wajar jika dilakukan manusia biasa, bisa jadi perbuatan tersebut salah jika dinisbatkan kepada para Rasul. Sebagai contoh peristiwa dalam perang uhud.

    Tentu sangat manusiawi jika seseorang emosi ketika mengalami hal sebagaimana dialami oleh Rasul tadi. Tapi karena yang melakukannya adalah seorang Nabi, maka hal tersebut dianggap suatu kesalahan. “Sesungguhnya dalam diri Rasulullah terdapat teladan yang baik bagimu.” (QS Al-Ahzab [33]: 21


#referensi : google search

11 komentar:

  1. Mohon Judulnya yang PAS.perhatikan secara hati yang membaca,,,,,pantas tidak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih atas saranya pak Amin.. tapi saya hanya ingin memberi gambaran kpd masyarakat bnyak bahwa perbuatan baik yg dilakukan Rasulullah sja dikategorikan sbg sbuah kesalahan, mengapa kta sbg umat muslim yang sering melakukan kesalahan selalu menganggap kesalah kecil sbgai hal yg sepele,, untuk itu kita sbgai muslim yang baik harus meneladani sikap Rasulullah SAW

      Hapus
  2. sebenarnya saya ingin memaki anda,,,
    setelah membaca secara keseluruhan semoga ini menjadi amal yang baik,,,,

    BalasHapus
  3. semoga kita mempunyai keyakinan yang kuat, bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Tauladan yang baik untuk diikuti,semoga keyakinan kita bertambah kuat kepadaNya,,,,amiin.

    BalasHapus
  4. pada poin ke 4, yg benar Surat Al Anfal Ayat 67, bukan 68

    BalasHapus
  5. Bagus banget sekali artikelnya, cuma ada lagi kesalahan yang tidak disebut contohnya nabi kita pernah bermasam muka dengan seorang yang buta.

    BalasHapus
  6. Saya menambah beberapa daftar kesalahan Muhammad yang lain sebagai bahan renungan teman2 muslim yang lain :
    1. Muhammad mendirikan agama, karena dia mengira, nabi Musa adalah pendiri agama Yahudi dan nabi Isa adalah pendiri agama Kristen. Padahal tidak ada nabi-nabi yang mendirikan agama..ajaran Allah adalah Universal..
    2.Muhammad mengaku menerima kitab suci (Al Quran) dari tuhan (Allah), karena dia mengira nabi Musa telah menerima kitab Taurat dan nabi Isa menerima kitab Injil dari tuhan. Padahal tidak ada nabi-nabi yang menerima KITAB dari Tuhan. Sepanjang sejarah, Tuhan agama Samawi tak pernah menurunkan KITAB KERAMAT apapun kepada umatnya, dan apa yang dianggap sebagai kitab keramat oleh umat Samawi adalah BUKU SEJARAH KARANGAN MANUSIA yang disakralkan karena di dalamnya berisi cerita tentang Tuhan.
    3.Muhammad mengajarkan label agama dapat menyelamatkan manusia ke surga, untuk itu dia membual tentang malaikat kubur yang bertanya apa agamamu, apa nama kitab sucimu, siapa nama tuhanmu, siapa nama nabimu, bla-bla-bla, karena dia mengira nabi Musa dan nabi Isa juga mengajarkan begitu. Padahal, yang memiliki pandangan sektarian seperti itu adalah umatnya, bukan nabinya. Muhammad tersesat karena dia kerap mendengar orang Yahudi berkata: “Siapa tidak masuk agama Yahudi tak akan masuk surga”, dan demikian pula dengan orang Kristen, juga berkata: “Siapa tidak masuk agama Kristen tidak akan masuk surga.” Dengan demikian, yang ditonjolkan adalah LABEL AGAMA dan bukan PESAN-PESAN MORAL. Padahal yang dibawa oleh para nabi adalah PESAN-PESAN MORAL, dan para nabi sama sekali tidak membawa label agama dan tidak pernah mengajarkan suatu label agama dapat membawa manusia ke surga.
    4.Muhammad menyebut dirinya rasul sewaktu di Mekkah, dan menyebut dirinya nabi sewaktu bertemu orang-orang Yahudi di Medinah, karena Muhammad tidak paham apa itu rasul dan apa itu nabi menurut tradisi Samawi. Nabi adalah utusan Tuhan, sedangkan Rasul adalah utusan Yesus. Keduanya membawa misi yang berbeda. Nabi bertugas menyampaikan Firman Tuhan, sedangkan Rasul bertugas memberitakan Injil. Ternyata sewaktu di Mekkah Muhammad mendengar istilah “rasul” dari pendeta Waraqa, karena Waraqa menerjemahkan kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Arab dan pasti Waraqa sering menyebut istilah itu dalam kotbah-kotbahnya. Dan istilah “nabi” dia ketahui dari orang-orang Anshar Medinah sewaktu ia berjumpa orang-orang itu di Aqabah. Orang-orang Anshar tersebut memberitahu Muhammad kalau orang-orang Yahudi Medinah sedang menanti-nantikan kedatangan seorang nabi yang dijanjikan Tuhan mereka, maka sejak itu pula Muhammad mengklaim dirinya juga sebagai “nabi”, walau di Mekkah dia mengaku dirinya “rasul”.
    5.Muhammad membagi Quran ke dalam surat-surat, karena dia mengira surat-surat dalam Alkitab sebagai surat-surat kudus kiriman malaikat dari surga. Padahal surat-surat dalam Alkitab (Perjanjian Baru) tersebut adalah memang surat dalam arti sebenarnya, yaitu surat yang ditulis dan dikirim oleh rasul untuk para jemaah Kristen.
    6.Muhammad menyangka nabi Musa dan nabi Isa hidup pada zaman yang sama, padahal keduanya terpaut 1500 tahun lamanya. Dengan menceritakan keluarga Imran mempunyai tiga orang anak: Harun, Maryam dan Musa, dan Maryam binti Imran melahirkan anak bernama Isa Almasih, serta penyebutan Maryam sebagai Saudara Perempuan Harun
    dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu persatu...

    Aku bersaksi percaya dengan hati dan jiwaku: "TIADA TUHAN SELAIN ALLAH" tapi kalo harus bersaksi "Muhamad sebagai UTUSAN ALLAH" ya tunggu dulu..
    Allah tidak bisa disogok dengan amal..Kita akan menuju ke surga hanya dengan cara menerima Allah sepenuh hati dan Iman..apa yang dikatakan Muhammad tentang Islam dan Ajarannya adalah salah dan menyesatkan..Gunakan Hati dan Iman jika kita berbicara tentang Allah..Semoga Allah membimbingku dari kesesatan yang dibawa Muhammad..Amiiin.

    BalasHapus
  7. Benarkah Al-Quran Seratus Persen Firman Allah??????????????

    Benarkah Al-Quran adalah seratus persen firman (perkataan) Allah, tidak bercampur dengan ucapan Muhammad sebagaimana dinyatakan dalam Sura 53:3-5? Mari kita simak ayat-ayat Al-Quran di bawah ini:
    Apakah Al Faatihah itu ucapan Allah atau manusia? Bukankah manusia yang berseru, “Hanya Engkaulah yang kami sembah”? Bukankah tidak mungkin Allah yang berdoa, “Tunjukilah kami jalan yang lurus”?
    Apakah benar bagian akhir dari Sura 6:106 adalah ucapan Allah, “Dan aku sekali-kali bukanlah pemelihara“? Bukankah ini jelas ucapan Muhammad seperti telah diakui dengan memasukkan namanya dalam tanda kurung?
    Bagaimana dengan Sura 6:114, “Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang menurunkan kitab …” Bukankah ini ucapan Muhammad dan bukan ucapan Allah?
    Apakah bukan ucapan Muhammad dalam Sura 17:1 yang berbunyi, “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam hari dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha …”?
    Siapakah “Aku“ dalam Sura 27:91? Tidakkah ini jelas bukan Allah tetapi seorang manusia? Bagaimana Allah dapat berkata, “Aku hanya diperintahkan untuk menyembah Tuhan negeri ini yang telah menjadikannya suci dan kepunyaanNyalah segala sesuatu, dan aku diperintahkan supaya termasuk orang-orang yang berserah diri”?
    Apakah sungguh Allah bersumpah demi hari kiamat dan dengan jiwa yang amat menyesal (Sura 75: 1-2)? Bukankah ini ucapan manusia?
    Apakah sungguh Allah bersumpah demi bintang-bintang dan demi malam dan demi subuh (Sura 81:15-18)? Bukankah ini ucapan manusia?
    Apakah bukan malaikat yang mengucapkan Sura 19:64, “Dan tidaklah kami turun, kecuali dengan perintah Tuhanmu. KepunyaanNyalah apa-apa yang ada dihadapan kita dan apa-apa yang ada di antara keduanya, dan tidaklah Tuhanmu lupa“?
    Apakah bukan malaikat yang mengucapkan Sura 37:161-166? Bagaimana mungkin Allah yang mengatakan, “Maka sesungguhnya kamu dan apa-apa yang kamu sembah itu, sekali-kali tidak dapat menyesatkan terhadap Allah, kecuali orang-orang yang akan masuk neraka yang menyala. Tiada seorangpun di antara kami (malaikat) melainkan mempunyai kedudukan tertentu, dan sesungguhnya kami benar bershaf-shaf (dalam menunaikan perintah Allah) dan sesungguhnya kami benar-benar bertasbih (kepada Allah)”? Jelas sekali ini perkataan malaikat, bahkan kata “malaikat” sudah dimasukkan.
    Apakah sungguh ucapan Allah yang terdapat dalam Sura Al Jin? Bukankah sebenarnya Jin yang berbicara – umpamanya Sura 72:11, “Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh (apakah ada jin yang saleh? Bukankah ini dusta belaka?) dan di antara kami ada yang tidak demikian halnya.”

    BalasHapus
  8. Benarkah Poligami Hukum Allah?

    Hukum poligami berasal dari hati Allah yang suci, atau dari hawa nafsu manusia? Sebagian orang berpandangan poligami merupakan bentuk kesempurnaan hukum Allah. Yang lain berkata poligami bukan ide Allah, tetapi ide manusia. Bagaimana dengan Anda?
    Poligami Bentuk Ketidak-adilan Allah
    Pernahkah Anda berpikir bahwa poligami merupakan bentuk ketidak-adilan Allah? Kepada Muhammad, Allah tidak memberi batasan pasti jumlah isterinya. Sementara kepada pria Muslim, Allah memberi batasan empat isteri. Wanita Muslim merdeka hanya boleh mempunyai satu suami. Sedangkan wanita budak boleh dikawini oleh majikan Muslim yang mana saja.
    Sekalipun Islam percaya poligami adalah hukum Allah, wanita Muslim justru banyak yang menolak. Muhammad pun menentangnya tatkala puterinya Fatima dipoligami. “Fatima adalah bagian dari tubuh saya, dan saya benci melihat apa yang dibencinya, dan apa yang menyakitinya, adalah juga menyakiti saya” (Bukhari V7, B62, No.157). Bila Muhammad bisa peka atas kesedihan Fatima, apakah Allah tidak peka terhadap ayah-ayah Muslimah yang juga bisa merasa sakit bila puterinya dinikahi pria beristri?
    Hukum Poligami, Seakan-Akan Allah Tidak Konsisten
    Dalam Qs 4:3 Allah memberikan syarat berpoligami. Yaitu dapat berlaku adil. Sementara di ayat lain Allah dalam Al-Quran berkata, “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian...” (Qs 4:129).
    Bila Allah sudah tahu bahwa tidak ada manusia yang dapat berlaku adil, mengapa Dia masih tetap mengijinkan berpoligami? Kenapa Allah tidak sekalian saja melarangnya? Bahkan Muhammad sendiri tidak dapat berlaku adil kepada isteri-isterinya. Di antara sekian banyak isterinya, dia lebih mengasihi Khadijah dan Aisyah.
    Poligami, Hukum Manusia atau Hukum Allah?
    Memang benar poligami sudah ada jauh sebelum zaman Muhammad. Alkitab juga mencatat beberapa nabi Allah yang berpoligami. Namun perlu dipahami, sekalipun para nabi tersebut berpoligami, hal itu sama sekali bukan karena adanya hukum dari Allah.
    Tidak satu ayat pun di Kitab Allah dimana Allah melegalkan poligami. Praktek poligami terjadi akibat pilihan nafsu mereka pribadi yang menyimpang dari konsep Allah tentang pernikahan. Dimana sejak semula Allah menciptakan satu Adam dan satu penolong saja yang sepadan baginya (Taurat, Kitab Kejadian 2:18). Bahkan agama bangsa Semitik yang lebih tua, seperti Yudaisme dan Kristianitas, tidak pernah melegalkan poligami.
    Poligami dan Teladan Pengorbanan Isa Al-Masih
    Bagaimana dengan ajaran Isa tentang poligami? Dalam Injil, Rasul Besar Matius 19:6 Isa berkata, "Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian” (Injil, Rasul Besar Matius 19:6). Bangsa Yahudi sejak awal mengerti bahwa Allah tidak membenarkan mempunyai isteri lebih dari satu. Namun, karena dorongan hawa nafsu mereka untuk mengambil isteri yang lain, maka mereka menceraikan isteri pertamanya.
    Ayat lain dalam Kitab Suci Allah berkata, “Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya” (Injil, Surat Efesus 5:25) Demikianlah seharusnya suami mengasihi isterinya. Kiranya para suami meneladani Isa Al-Masih. Dimana Isa, karena kasih-Nya kepada seluruh manusia, rela mengorbankan nyawa-Nya, “supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal” (Injil, Rasul Besar Matius 3:15).

    BalasHapus