Saya akan menceritakan beberapa kisah nyata dan saya jamin Anda akan
merasakannnya sebagai sekedar dongeng. Bukan karena Anda tidak mempercayai saya
atau sumber-sumber dari mana saya memperoleh kisah-kisah nyata itu; namun
terutama karena kita hidup di zaman yang jauh lebih absurd dari dongeng. Atau
karena kehidupan kita sudah sedemikian jauh meninggalkan norma-norma nyata
dalam kehidupan kemanusiaan.
Baiklah saya mulai saja. Anda sudah siap mengikuti kisah-kisah saya? Inilah:
Baiklah saya mulai saja. Anda sudah siap mengikuti kisah-kisah saya? Inilah:
1. Suatu hari ada seorang tua miskin datang kepada Syeikh –kalau sekarang
mungkin dipanggil kiai– Sa’id bin Salim, hendak menyampaikan sesuatu keperluan
meminta tolong kepada tokoh masyarakat yang disegani itu. Seperti layaknya
orang yang sudah tua renta, selama berbicara mengutarakan hajatnya, si orang
tua miskin itu bersandarkan pada tongkat penopang ketuaannya. Dan tanpa
disadari, ujung tongkatnya itu menghujam pada kaki syeikh Sa’id hingga
berdarah-darah. Seperti tidak merasakan apa-apa, Syiekh Sa’id terus
mendengarkan dengan penuh perhatian keluhan wong cilik itu.
Demikianlah; ketika orang tua itu sudah mendapatkan dari Syeikh apa yang ia perlukan dan pergi meninggalkan majlis, orang-orang yang dari tadi memendam keheranan pun serta-merta bertanya kepada Syeikh Sa’id: “Kenapa Syeikh diam saja, tidak menegur, ketika orang tua tadi menghujamkan tongkatnya di kaki Syeikh?”
“Kalian kan tahu sendiri, dia datang kepadaku untuk menyampaikan keperluannya;” jawab Syeikh Sa’id sambil tersenyum, “Kalau aku mengadu atau apalagi menegurnya, aku khawatir dia akan merasa bersalah dan tidak jadi menyampaikan hajatnya.”
Demikianlah; ketika orang tua itu sudah mendapatkan dari Syeikh apa yang ia perlukan dan pergi meninggalkan majlis, orang-orang yang dari tadi memendam keheranan pun serta-merta bertanya kepada Syeikh Sa’id: “Kenapa Syeikh diam saja, tidak menegur, ketika orang tua tadi menghujamkan tongkatnya di kaki Syeikh?”
“Kalian kan tahu sendiri, dia datang kepadaku untuk menyampaikan keperluannya;” jawab Syeikh Sa’id sambil tersenyum, “Kalau aku mengadu atau apalagi menegurnya, aku khawatir dia akan merasa bersalah dan tidak jadi menyampaikan hajatnya.”
Lihatlah. Bukankah kisah di atas bagaikan dongeng saja?! Mana ada pemimpin atau tokoh masyarakat yang begitu tinggi menempatkan keperluan orang yang memerlukan bantuan dalam perhatiannya? Kalau pun ada, mungkin untuk menemukannya bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami sekarang ini.
2. Syeikh Hasan Al-Bashari, siapa yang tak mengenal tokoh ulama dan sufi di
penghujung abad pertama ini? Beliau tinggal bertetangga dengan seorang Nasrani.
Apartemen si Nasrani di atas dan beliau di bawah. Bertahun-tahun mereka
bertetangga, belum pernah si Nasrani datang bertandang ke apartemen Syeikh
Hasan. Baru ketika Syeikh Hasan jatuh sakit, si Nasrani datang menjenguk.
Ketika menjenguk itulah, si Nasrani baru tahu betapa sederhana kehidupan Syeikh Hasan yang sangat terkenal kebesarannya itu. Tapi yang lebih menarik perhatian si Nasrani adalah adanya sebuah baskom berisi air keruh yang terletak di dekat bale-bale tempat tidur Syeikh Hasan. Apalagi ketika ada tetesan air jatuh tepat dari atas baskom. Spontan si Nasrani teringat kamar mandinya di atas. Dengan ragu-ragu si Nasrani pun bertanya: “Syeikh, ini baskom apa?’
“Ah baskom itu, sekedar penampung tetesan air;” jawab Syeikh wajar-wajar saja, “Setiap kali penuh baru saya buang.”
“Sudah berapa lama Syeikh melakukan ini?” tanya si Nasrani lagi dengan suara gemetar, “maksud saya menampung tetesan air dari atas ini?”
“Ya, kurang-lebih sudah dua puluh tahun;” jawab Syeikh kalem, “jadi sudah terbiasa.”
Mendengar itu, si Nasrani langsung menyatakan syahadat. Mengakui Tuhan dan Rasul-nya Syeikh Hasan Al-Bashari, Allah swt dan Nabi Muhammad saw.
Ketika menjenguk itulah, si Nasrani baru tahu betapa sederhana kehidupan Syeikh Hasan yang sangat terkenal kebesarannya itu. Tapi yang lebih menarik perhatian si Nasrani adalah adanya sebuah baskom berisi air keruh yang terletak di dekat bale-bale tempat tidur Syeikh Hasan. Apalagi ketika ada tetesan air jatuh tepat dari atas baskom. Spontan si Nasrani teringat kamar mandinya di atas. Dengan ragu-ragu si Nasrani pun bertanya: “Syeikh, ini baskom apa?’
“Ah baskom itu, sekedar penampung tetesan air;” jawab Syeikh wajar-wajar saja, “Setiap kali penuh baru saya buang.”
“Sudah berapa lama Syeikh melakukan ini?” tanya si Nasrani lagi dengan suara gemetar, “maksud saya menampung tetesan air dari atas ini?”
“Ya, kurang-lebih sudah dua puluh tahun;” jawab Syeikh kalem, “jadi sudah terbiasa.”
Mendengar itu, si Nasrani langsung menyatakan syahadat. Mengakui Tuhan dan Rasul-nya Syeikh Hasan Al-Bashari, Allah swt dan Nabi Muhammad saw.
Seperti dongeng bukan? Dimana kini Anda bisa menjumpai orang yang menjunjung tinggi ajaran menghormati tetangga seperti Hasan Al-Bashari itu?
3. Datang seseorang melarat kepada sang pemimpin mengeluhkan kondisinya yang
sangat lapar. Sang pemimpin pun bertanya kepada isterinya kalau-kalau ada
sesuatu yang dapat disuguhkan kepada tamunya. Ternyata di rumah sang pemimpin
yang ada hanya air. Sang pemimpin pun bertanya kepada orang-orang di
sekelilingnya, “Siapa yang bersedia menjamu tamuku ini?”
“Saya;” kata seseorang. Lalu orang ini pun segera pulang ke rumahnya sendiri membawa tamunya.
“Saya membawa tamunya pemimpin kita, tolong sediakan makanan untuk menjamunya!” katanya kepada isterinya.
“Wah, sudah tidak ada makanan lagi, kecuali persediaan untuk anak-anak kita;” bisik sang isteri.
“Sibukkan mereka;” kata suaminya lirih, “kalau datang waktunya makan, usahakan mereka tidur. Nanti kalau si tamu akan masuk untuk makan, padamkan lampu dan kita pura-pura ikut makan, ya!”
Demikianlah keluarga itu menjalankan skenario kepala rumah tangganya. Dan mereka menahan lapar mereka sendiri hingga pagi.
Esok harinya sebelum laporan, sang pemimpin yang tidak lain adalah Rasulullah saw, sudah menyambut kepala rumah tangga –seorang shahabat Anshor– itu dengan tersenyum, sabdanya: “Allah takjub menyaksikan perlakuan kalian berdua terhadap tamu kalian semalan.”
“Saya;” kata seseorang. Lalu orang ini pun segera pulang ke rumahnya sendiri membawa tamunya.
“Saya membawa tamunya pemimpin kita, tolong sediakan makanan untuk menjamunya!” katanya kepada isterinya.
“Wah, sudah tidak ada makanan lagi, kecuali persediaan untuk anak-anak kita;” bisik sang isteri.
“Sibukkan mereka;” kata suaminya lirih, “kalau datang waktunya makan, usahakan mereka tidur. Nanti kalau si tamu akan masuk untuk makan, padamkan lampu dan kita pura-pura ikut makan, ya!”
Demikianlah keluarga itu menjalankan skenario kepala rumah tangganya. Dan mereka menahan lapar mereka sendiri hingga pagi.
Esok harinya sebelum laporan, sang pemimpin yang tidak lain adalah Rasulullah saw, sudah menyambut kepala rumah tangga –seorang shahabat Anshor– itu dengan tersenyum, sabdanya: “Allah takjub menyaksikan perlakuan kalian berdua terhadap tamu kalian semalan.”
Anda tahu kisah ini bukan dongeng, karena ini hadis muttafaq ‘alaih yang bersumber dari shahabat Abu Hurairah r.a. Tapi tetap saja kedengarannya seperti dongeng, bukan ?!
Tiga kisah itu hanyalah sekedar contoh, yang lainnya masih banyak lagi. Anda bisa dengan mudah menjumpainya di kitab-kitab Anda, di kitab suci Al-Quran, di kitab-kitab Hadis, dan kitab-kitab salaf pegangan kita yang lain. Hampir semuanya, bila Anda baca, Anda akan merasa seperti membaca contoh-contoh di atas. Merasa seperti membaca dongeng. Kalau benar demikian, bukankah ini pertanda bahwa kondisi kehidupan kita –masya Allah!—sudah semakin jauh saja dengan kondisi ideal seperti yang dicontohkan oleh Salafunaas Shaalihuun, para pemimpin dan pendahulu kita yang saleh-saleh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar