Tentu
kita tidak akan pernah lupa bagaimana masa penjajahan Belanda di tanah
Indonesia selama 350 tahun. Kita pun sudah pernah mengenyam pendidikan ilmu
sejarah sejak duduk di bangku sekolah, bagaimana keperkasaan Belanda yang
memecah belah rakyat indonesia dengan politik devide et impera nya berhasil
menguasai Indonesia beserta sumber daya alamnya. keberadaan bangsa Holland
selama 3 setengah abad di tanah pertiwi juga menghasilkan pernikahan campur
antar ras dan etnis yang jauh berbeda, barat dengan timur.
Walaupun sudah sangat lama dan jauh namun ternyata ada
hal-hal dari Indonesia yang tidak dapat dipisahkan dari Belanda, beberapa hal
dalam sepakbola yang mungkin tidak disadari oleh banyak orang, hal itu adalah
gelar negara runner up nya sepakbola.
Tercatat selama 4 kali final di ajang resmi FIFA,
Belanda hanya menjuarai 1 kali gelar juara UEFA Euro 1988. Belanda menjadi
runner up Piala Dunia 2 kali berturut-turut pada tahun 1974 dan 1978, dan tentu
yang masih segar dalam ingatan kita ketika mereka kalah dari Spanyol 0-1 di
final pada tahun 2010 di Afrika Selatan. Sejak awal turnament 4 tahunan itu,
mereka tampil luar biasa dan belum terkalahkan hingga kalah dari Spanyol di
partai puncak, ironisnya kekalahan itu merupakan yang pertama dan terakhir pada
Piala Dunia 2010. Sebaliknya Spanyol mengawali laga dengan kekalahan memalukan
dari Swiss 0-1 namun pada akhirnya justru merekalah yang akhirnya menjadi juara
dunia untuk pertama kalinya, padahal seharusnya Belanda yang lebih
berpengalaman ketika berada di partai final diprediksi akan menjuarai turnament
tersebut, namun hasil berkata lain.
Tim Nasional Indonesia pun memiliki prestasi yang
tidak berbeda jauh dengan Tim Nasional Belanda. Prestasi Timnas Indonesia lebih
baik dalam raihan gelar regional. Sejak tampil pada Piala Dunia 1938 dengan
nama Hindia-Belanda, Indonesia baru meraih 2 kali medali emas pada ajang Sea
Games tahun 1987 dan tahun 1991, namun sayangnya gelar juara tersebut bukanlah
ajang resmi yang diselenggarakan oleh FIFA.
Kembali ke tahun 2010, ketika Belanda gagal menjuarai
Piala Dunia karena kalah untuk pertama dan terakhir oleh Spanyol yang sempat
kalah di awal ajang, justru Spanyol berhasil menjadi juara dunia untuk pertama
kalinya. Indonesia pun mengalami nasib yang sama, Timnas Indonesia yang sudah
tampil luar biasa pada ajang Piala AFF dari awal turnament, malah gagal di
partai final karena ditaklukan oleh Malaysia, yang sebelumnya sempat mereka
hancurkan 5-1 pada babak penyisihan, dengan demikian Malaysia lah berhasil
menjuarai Piala AFF untuk kali pertama.
Giovanni van Bronckhorst, Robin van Persie, Nigel de
Jong, Johny Heitinga, Demy de Zeeuw, dan Gregory van der Wiel berbagi nasib
dengan pemain keturunan Belanda-Indonesia lainnya yang bergabung dalam Timnas
Indonesia. Mulai dari naturalisasi Irfan Bachdim yang bersinar di Piala AFF
2010 hingga Diego Michiels benteng U-23 di Sea Games 2011, nyatanya Indonesia
masih menjadi tim runner up secara beruntun dalam 2 tahun terakhir.
Tampaknya mental runner up ala Belanda telah tertular
ke sepakbola Indonesia, mungkin ini diakibatkan karena efek penjajahan yang
terlalu lama. Bahkan para jajaran dan para petinggi PSSI pun berfilosofi
layaknya devide et impera, persis seperti gejolak sosial yang sedang dialami
oleh rakyat Indonesia.
Kompetisi persepakbolaan tanah air terpecah menjadi 2
yakni Indonesian Premier League dan Indonesian Super League, bahkan otoritas
PSSI pun kehilangan wibawanya sehingga bisa ditandingi oleh organisasi karbitan
macam KPSI. Entah apakah ada unsur yang mendasari untuk menomorsatukan
kepentingan kelompok atau memang adanya mental devide et impera yang sudah lama
tertanam dalam alam bawah sadar rakyat Indonesia. Mulai dari tingkat golongan
masyarakat yang paling tinggi sampai golongan masyarakat yang paling rendah
cenderung sangat mudah konflik dan terpecah belah hingga situasinya menjadi
seperti ini. Tentu kita tidak akan pernah lupa bagaimana masa penjajahan
Belanda di tanah Indonesia selama 350 tahun. Kita pun sudah pernah mengenyam
pendidikan ilmu sejarah sejak duduk di bangku sekolah, bagaimana keperkasaan
Belanda yang memecah belah rakyat indonesia dengan politik devide et impera nya
berhasil menguasai Indonesia beserta sumber daya alamnya. keberadaan bangsa
Holland selama 3 setengah abad di tanah pertiwi juga menghasilkan pernikahan
campur antar ras dan etnis yang jauh berbeda, barat dengan timur.
Walaupun sudah sangat lama dan jauh namun ternyata ada
hal-hal dari Indonesia yang tidak dapat dipisahkan dari Belanda, beberapa hal
dalam sepakbola yang mungkin tidak disadari oleh banyak orang, hal itu adalah
gelar negara runner up nya sepakbola.
Tercatat selama 4 kali final di ajang resmi FIFA,
Belanda hanya menjuarai 1 kali gelar juara UEFA Euro 1988. Belanda menjadi
runner up Piala Dunia 2 kali berturut-turut pada tahun 1974 dan 1978, dan tentu
yang masih segar dalam ingatan kita ketika mereka kalah dari Spanyol 0-1 di
final pada tahun 2010 di Afrika Selatan. Sejak awal turnament 4 tahunan itu,
mereka tampil luar biasa dan belum terkalahkan hingga kalah dari Spanyol di
partai puncak, ironisnya kekalahan itu merupakan yang pertama dan terakhir pada
Piala Dunia 2010. Sebaliknya Spanyol mengawali laga dengan kekalahan memalukan
dari Swiss 0-1 namun pada akhirnya justru merekalah yang akhirnya menjadi juara
dunia untuk pertama kalinya, padahal seharusnya Belanda yang lebih
berpengalaman ketika berada di partai final diprediksi akan menjuarai turnament
tersebut, namun hasil berkata lain.
Tim Nasional Indonesia pun memiliki prestasi yang
tidak berbeda jauh dengan Tim Nasional Belanda. Prestasi Timnas Indonesia lebih
baik dalam raihan gelar regional. Sejak tampil pada Piala Dunia 1938 dengan
nama Hindia-Belanda, Indonesia baru meraih 2 kali medali emas pada ajang Sea
Games tahun 1987 dan tahun 1991, namun sayangnya gelar juara tersebut bukanlah
ajang resmi yang diselenggarakan oleh FIFA.
Kembali ke tahun 2010, ketika Belanda gagal menjuarai
Piala Dunia karena kalah untuk pertama dan terakhir oleh Spanyol yang sempat
kalah di awal ajang, justru Spanyol berhasil menjadi juara dunia untuk pertama
kalinya. Indonesia pun mengalami nasib yang sama, Timnas Indonesia yang sudah
tampil luar biasa pada ajang Piala AFF dari awal turnament, malah gagal di
partai final karena ditaklukan oleh Malaysia, yang sebelumnya sempat mereka
hancurkan 5-1 pada babak penyisihan, dengan demikian Malaysia lah berhasil
menjuarai Piala AFF untuk kali pertama.
Giovanni van Bronckhorst, Robin van Persie, Nigel de
Jong, Johny Heitinga, Demy de Zeeuw, dan Gregory van der Wiel berbagi nasib
dengan pemain keturunan Belanda-Indonesia lainnya yang bergabung dalam Timnas
Indonesia. Mulai dari naturalisasi Irfan Bachdim yang bersinar di Piala AFF
2010 hingga Diego Michiels benteng U-23 di Sea Games 2011, nyatanya Indonesia
masih menjadi tim runner up secara beruntun dalam 2 tahun terakhir.
Tampaknya mental runner up ala Belanda telah tertular
ke sepakbola Indonesia, mungkin ini diakibatkan karena efek penjajahan yang
terlalu lama. Bahkan para jajaran dan para petinggi PSSI pun berfilosofi
layaknya devide et impera, persis seperti gejolak sosial yang sedang dialami
oleh rakyat Indonesia.
Kompetisi persepakbolaan tanah air terpecah menjadi 2
yakni Indonesian Premier League dan Indonesian Super League, bahkan otoritas
PSSI pun kehilangan wibawanya sehingga bisa ditandingi oleh organisasi karbitan
macam KPSI. Entah apakah ada unsur yang mendasari untuk menomorsatukan
kepentingan kelompok atau memang adanya mental devide et impera yang sudah lama
tertanam dalam alam bawah sadar rakyat Indonesia. Mulai dari tingkat golongan
masyarakat yang paling tinggi sampai golongan masyarakat yang paling rendah
cenderung sangat mudah konflik dan terpecah belah hingga situasinya menjadi
seperti ini.
sumber : lupa sumbernya, yang pasti dari google
Tidak ada komentar:
Posting Komentar