Jumat, 01 Februari 2013

Kesamaan Timnas Indonesia dan Belanda



 
Tentu kita tidak akan pernah lupa bagaimana masa penjajahan Belanda di tanah Indonesia selama 350 tahun. Kita pun sudah pernah mengenyam pendidikan ilmu sejarah sejak duduk di bangku sekolah, bagaimana keperkasaan Belanda yang memecah belah rakyat indonesia dengan politik devide et impera nya berhasil menguasai Indonesia beserta sumber daya alamnya. keberadaan bangsa Holland selama 3 setengah abad di tanah pertiwi juga menghasilkan pernikahan campur antar ras dan etnis yang jauh berbeda, barat dengan timur. 

Walaupun sudah sangat lama dan jauh namun ternyata ada hal-hal dari Indonesia yang tidak dapat dipisahkan dari Belanda, beberapa hal dalam sepakbola yang mungkin tidak disadari oleh banyak orang, hal itu adalah gelar negara runner up nya sepakbola.

Tercatat selama 4 kali final di ajang resmi FIFA, Belanda hanya menjuarai 1 kali gelar juara UEFA Euro 1988. Belanda menjadi runner up Piala Dunia 2 kali berturut-turut pada tahun 1974 dan 1978, dan tentu yang masih segar dalam ingatan kita ketika mereka kalah dari Spanyol 0-1 di final pada tahun 2010 di Afrika Selatan. Sejak awal turnament 4 tahunan itu, mereka tampil luar biasa dan belum terkalahkan hingga kalah dari Spanyol di partai puncak, ironisnya kekalahan itu merupakan yang pertama dan terakhir pada Piala Dunia 2010. Sebaliknya Spanyol mengawali laga dengan kekalahan memalukan dari Swiss 0-1 namun pada akhirnya justru merekalah yang akhirnya menjadi juara dunia untuk pertama kalinya, padahal seharusnya Belanda yang lebih berpengalaman ketika berada di partai final diprediksi akan menjuarai turnament tersebut, namun hasil berkata lain.


Tim Nasional Indonesia pun memiliki prestasi yang tidak berbeda jauh dengan Tim Nasional Belanda. Prestasi Timnas Indonesia lebih baik dalam raihan gelar regional. Sejak tampil pada Piala Dunia 1938 dengan nama Hindia-Belanda, Indonesia baru meraih 2 kali medali emas pada ajang Sea Games tahun 1987 dan tahun 1991, namun sayangnya gelar juara tersebut bukanlah ajang resmi yang diselenggarakan oleh FIFA.


Kembali ke tahun 2010, ketika Belanda gagal menjuarai Piala Dunia karena kalah untuk pertama dan terakhir oleh Spanyol yang sempat kalah di awal ajang, justru Spanyol berhasil menjadi juara dunia untuk pertama kalinya. Indonesia pun mengalami nasib yang sama, Timnas Indonesia yang sudah tampil luar biasa pada ajang Piala AFF dari awal turnament, malah gagal di partai final karena ditaklukan oleh Malaysia, yang sebelumnya sempat mereka hancurkan 5-1 pada babak penyisihan, dengan demikian Malaysia lah berhasil menjuarai Piala AFF untuk kali pertama.


Giovanni van Bronckhorst, Robin van Persie, Nigel de Jong, Johny Heitinga, Demy de Zeeuw, dan Gregory van der Wiel berbagi nasib dengan pemain keturunan Belanda-Indonesia lainnya yang bergabung dalam Timnas Indonesia. Mulai dari naturalisasi Irfan Bachdim yang bersinar di Piala AFF 2010 hingga Diego Michiels benteng U-23 di Sea Games 2011, nyatanya Indonesia masih menjadi tim runner up secara beruntun dalam 2 tahun terakhir.


Tampaknya mental runner up ala Belanda telah tertular ke sepakbola Indonesia, mungkin ini diakibatkan karena efek penjajahan yang terlalu lama. Bahkan para jajaran dan para petinggi PSSI pun berfilosofi layaknya devide et impera, persis seperti gejolak sosial yang sedang dialami oleh rakyat Indonesia.


Kompetisi persepakbolaan tanah air terpecah menjadi 2 yakni Indonesian Premier League dan Indonesian Super League, bahkan otoritas PSSI pun kehilangan wibawanya sehingga bisa ditandingi oleh organisasi karbitan macam KPSI. Entah apakah ada unsur yang mendasari untuk menomorsatukan kepentingan kelompok atau memang adanya mental devide et impera yang sudah lama tertanam dalam alam bawah sadar rakyat Indonesia. Mulai dari tingkat golongan masyarakat yang paling tinggi sampai golongan masyarakat yang paling rendah cenderung sangat mudah konflik dan terpecah belah hingga situasinya menjadi seperti ini. Tentu kita tidak akan pernah lupa bagaimana masa penjajahan Belanda di tanah Indonesia selama 350 tahun. Kita pun sudah pernah mengenyam pendidikan ilmu sejarah sejak duduk di bangku sekolah, bagaimana keperkasaan Belanda yang memecah belah rakyat indonesia dengan politik devide et impera nya berhasil menguasai Indonesia beserta sumber daya alamnya. keberadaan bangsa Holland selama 3 setengah abad di tanah pertiwi juga menghasilkan pernikahan campur antar ras dan etnis yang jauh berbeda, barat dengan timur. 

Walaupun sudah sangat lama dan jauh namun ternyata ada hal-hal dari Indonesia yang tidak dapat dipisahkan dari Belanda, beberapa hal dalam sepakbola yang mungkin tidak disadari oleh banyak orang, hal itu adalah gelar negara runner up nya sepakbola.

Tercatat selama 4 kali final di ajang resmi FIFA, Belanda hanya menjuarai 1 kali gelar juara UEFA Euro 1988. Belanda menjadi runner up Piala Dunia 2 kali berturut-turut pada tahun 1974 dan 1978, dan tentu yang masih segar dalam ingatan kita ketika mereka kalah dari Spanyol 0-1 di final pada tahun 2010 di Afrika Selatan. Sejak awal turnament 4 tahunan itu, mereka tampil luar biasa dan belum terkalahkan hingga kalah dari Spanyol di partai puncak, ironisnya kekalahan itu merupakan yang pertama dan terakhir pada Piala Dunia 2010. Sebaliknya Spanyol mengawali laga dengan kekalahan memalukan dari Swiss 0-1 namun pada akhirnya justru merekalah yang akhirnya menjadi juara dunia untuk pertama kalinya, padahal seharusnya Belanda yang lebih berpengalaman ketika berada di partai final diprediksi akan menjuarai turnament tersebut, namun hasil berkata lain.


Tim Nasional Indonesia pun memiliki prestasi yang tidak berbeda jauh dengan Tim Nasional Belanda. Prestasi Timnas Indonesia lebih baik dalam raihan gelar regional. Sejak tampil pada Piala Dunia 1938 dengan nama Hindia-Belanda, Indonesia baru meraih 2 kali medali emas pada ajang Sea Games tahun 1987 dan tahun 1991, namun sayangnya gelar juara tersebut bukanlah ajang resmi yang diselenggarakan oleh FIFA.


Kembali ke tahun 2010, ketika Belanda gagal menjuarai Piala Dunia karena kalah untuk pertama dan terakhir oleh Spanyol yang sempat kalah di awal ajang, justru Spanyol berhasil menjadi juara dunia untuk pertama kalinya. Indonesia pun mengalami nasib yang sama, Timnas Indonesia yang sudah tampil luar biasa pada ajang Piala AFF dari awal turnament, malah gagal di partai final karena ditaklukan oleh Malaysia, yang sebelumnya sempat mereka hancurkan 5-1 pada babak penyisihan, dengan demikian Malaysia lah berhasil menjuarai Piala AFF untuk kali pertama.


Giovanni van Bronckhorst, Robin van Persie, Nigel de Jong, Johny Heitinga, Demy de Zeeuw, dan Gregory van der Wiel berbagi nasib dengan pemain keturunan Belanda-Indonesia lainnya yang bergabung dalam Timnas Indonesia. Mulai dari naturalisasi Irfan Bachdim yang bersinar di Piala AFF 2010 hingga Diego Michiels benteng U-23 di Sea Games 2011, nyatanya Indonesia masih menjadi tim runner up secara beruntun dalam 2 tahun terakhir.


Tampaknya mental runner up ala Belanda telah tertular ke sepakbola Indonesia, mungkin ini diakibatkan karena efek penjajahan yang terlalu lama. Bahkan para jajaran dan para petinggi PSSI pun berfilosofi layaknya devide et impera, persis seperti gejolak sosial yang sedang dialami oleh rakyat Indonesia.


Kompetisi persepakbolaan tanah air terpecah menjadi 2 yakni Indonesian Premier League dan Indonesian Super League, bahkan otoritas PSSI pun kehilangan wibawanya sehingga bisa ditandingi oleh organisasi karbitan macam KPSI. Entah apakah ada unsur yang mendasari untuk menomorsatukan kepentingan kelompok atau memang adanya mental devide et impera yang sudah lama tertanam dalam alam bawah sadar rakyat Indonesia. Mulai dari tingkat golongan masyarakat yang paling tinggi sampai golongan masyarakat yang paling rendah cenderung sangat mudah konflik dan terpecah belah hingga situasinya menjadi seperti ini. 

sumber : lupa sumbernya, yang pasti dari google

Tidak ada komentar:

Posting Komentar