Minggu, 03 Maret 2013

Soeharto dan kisah masa kecil yang tak bahagia




"Den Bagus tahi mabul! Den Bagus tahi mabul."
Arti ledekan itu kira-kira si raden tahi kering. Sudah enam puluh tahun, tapi Soeharto masih mengingat ejekan yang dilontarkan temannya dulu. Masih dendam dia rupanya.
Soeharto lahir 8 Juni 1921 di Desa Kemusuk, dusun terpencil di daerah Argomulyo, Godean, sebelah barat Yogyakarta. Ayahnya Kertosudiro, seorang petugas irigasi di desa itu. Ibunya bernama Sakirah. Tak lama setelah Soeharto lahir, kedua orangtuanya bercerai.
Belum 40 hari, Soeharto dibawa ibunya ke Mbah Kromodiryo, yang masih kerabatnya. Sakirah sakit sehingga tak bisa menyusui anaknya. Di pelukan Mbah Kromo Soeharto menemukan kasih sayang. Mbah Kromo memberi makan Soeharto, merawatnya kala sakit, dan mengajar mengenal kehidupan desa. Soeharto kecil sangat akrab dengan kehidupan petani beserta sawah dan kerbaunya.
"Memang terasa sekali sampai sekarang betapa sayangnya beliau pada saya," kata Soeharto dalam biografi Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya' yang ditulis G Dwipayana dan Ramadhan KH.
Setelah berusia empat tahun, Sakirah menjemput Soeharto. Kemudian mengajak putranya itu tinggal bersama suami barunya yang bernama Atmopawiro.
Mbah buyut Soeharto, Notosudiro masih ada hubungan dengan pengawas di keraton, karena itu masih dipanggil Den. Dari situ pula Soeharto sering dapat ejekan. Kehidupan Soeharto melarat. Dia merasa risih dipanggil Den.
"Saya selalu menolak dipanggil begitu, tapi mereka terus juga menjengkelkan saya," kata Soeharto.
Kehidupan masa kecil Soeharto tak selalu menyenangkan. Banyak juga sakit hatinya.
Ceritanya saat itu Mbah Notosudiro pulang membawa baju. Soeharto yang baru berumur lima tahun disuruh mencoba baju tersebut. Saat itu Soeharto belum punya pakaian. Dia masih bertelanjang dada dan hanya punya celana pendek selutut.
Eh, setelah baju dicoba, ternyata Mbah Notosudiro malah memanggil sepupu Soeharto yang bernama Darsono. Baju itu diberikan pada Darsono. Soeharto pun sakit hati. Apalagi dia tahu anak budenya itu sudah punya baju.
"Saya merasa nista. Saya nelangsa sedih sekali. Waktu itu saya merasa hidup ini kok begini. Saya berpikir, kami sama-sama cicitnya, tetapi diperlakukan lain. Mas Darsono sudah mempunyai baju, sedang saya belum. Mengapa saya tidak dibuatkan dan yang dibuatkan itu malah Mas Darsono?"
Ayah kandung Soeharto, Kertosudiro, akhirnya menitipkan Soeharto pada adik perempuannya yang bersuamikan mantri tani bernama Prawirodiharjo. Kehidupan ekonomi keluarga ini lumayan baik. Soeharto pun disekolahkan dan diterima dengan kasih sayang. Dia pun betah tinggal di Daerah Wuryantoro ini.
Baru satu tahun, ayah tiri Soeharto Atmopawiro menjemput Soeharto. Katanya Sakirah kangen bertemu Soeharto. Mereka juga menjanjikan Soeharto cuma liburan dan nanti boleh kembali ke rumah Prawiro. Tapi ternyata janji tinggal janji. Soeharto kembali tinggal di Kemukus selama satu tahun sebelum akhirnya dijemput Prawiro kembali.
Soeharto mengagumi Pak Prawiro dan pekerjaannya sebagai mantri pertanian. Soeharto juga mulai mencintai kehidupan petani.
"Ketekunan dan kreativitas Pak Prawiro itu memberikan inspirasi kepada saya. Semangat saya dijadikannya hidup," kata Soeharto.
Tak ada yang menyangka 40 tahun kemudian, anak kecil berdada telanjang dari desa terpencil itu dilantik menjadi Presiden RI kedua. Nasib manusia memang milik Sang Pencipta.[merdeka.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar